Sabtu, 10 September 2011

Kata Maaf Santri (Cerpen)

Awalnya, Dina, Citra, Dhira, dan Santri bersahabat akrab. Mereka bersahabat sudah lama, semenjak kelas I sampai sekarang kelas VI. Ke mana-mana mereka selalu bersama-sama. Dari mengerjakan tugas sekolah, sampai belajar di tempat kursus, mereka selalu bareng.
Tapi, sekarang mereka menjauh karena telah terjadi salah paham di antara mereka. Hanya Dina dan Citra yang mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf, sedangkan Dhira dan Santri tidak mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf karena mereka merasa tidak bersalah. Nah, sejak itulah mereka tidak lagi bersahabat.
Saat Dhira mencoba berteman dengan teman-teman yang lain, Dhira selalu merasa aneh karena teman-temannya yang sekarang beda dengan sahabat-sahabatnya yang dulu. Dhira sadar akan ke egoisannya, lalu Dhira memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Dina dan Citra.
“Dina…, Citra…, maafin aku, ya…,” ujar Dhira kepada Dina dan Citra di taman sekolah saat jam istirahat.
“Iya…, kami maafin…” jawab Dina dan Citra dengan serempak.
Kini, hanya Santri yang masih mempertahankan egonya. Santri masih merasa bahwa dirinya benar.
“Mereka pikir, aku nggak punya teman selain mereka?” kata Santri kepada Tini, kakaknya.
“Sayang sekali, ya. Persahabatan kalian berantakan gara-gara masalah sepele,” ucap Tini ikut prihatin.
Santri menatap kakaknya dengan wajah marah. “Apa…? Kakak bilang, itu masalah sepele? Bayangkan, mereka bilang kalau belajar kelompok tempo hari itu batal gara-gara Santri dan Dhira! Padahal, Santri dan Dhira nggak pernah membatalkan rencana itu. Waktu itu, Santri cuma lupa memberi tahu mereka, kalau santri ada janji menemani mama ke dokter,” Santri tetap ngotot, nggak mau di salahkan.
“Tapi, bukankah Dina dan Citra sudah minta maaf ? Dan sekarang Dhira juga sudah meminta maaf kepada Dina dan Citra kan?” selidik Tini.
“ Iya sih…, memang mereka sudah meminta maaf, bahkan memintaku supaya minta maaf juga kepada mereka dan mengakui kesalahanku. Tapi, aku nggak mau minta maaf, karena aku nggak merasa bersalah,” ujar Santri, lalu pergi meninggalkan Tini dengan wajah kesal. Tini hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap adiknya yang angkuh dan egois.
***
Santri akhirnya menjalani hari-hari tanpa Dina, Citra, dan Dhira. Bagi Santri, mereka sudah bukan sahabat seperti dulu lagi. Dan Santri ingin membuktikan bahwa dia memiliki banyak teman yang ingin bersahabat dengannya, selain mereka.
Pada awalnya, Santri memang bisa melupakan mereka dan bergabung dengan teman-teman yang lainnya. Tapi, entah kenapa, hari-hari berikutnya Santi merasa ada yang kurang, tidak seperti dulu. Santi pun merasakan apa yang di rasakan Dhira sebelum dia meminta maaf kepada Dina dan Citra.
Santri mulai bingung. Ia tidak punya teman yang sebaik dan seasyik Dina, Citra, dan Dhira lagi. Santri sudah berusaha mencari teman-teman baru, tapi semuanya beda.
“Apa salahnya sih, minta maaf?” saran mamanya  ketika Santri menceritakan kesedihannya karena pisah dengan sahabat-sahabat lamanya itu.
“Santri harus minta maaf?” tanya Santri kesal.
“Iya, minta maaf itu perbuatan terpuji dan manusiawi. Siapa pun, kalau memang salah, tak perlu malu untuk mengakuinya dan meminta maaf,” jawab mamanya sambil menatap wajah Santri yang mulai aneh. “ Dulu, mama juga pernah meminta maaf sama teman mama, kalau mama berbuat salah. Awalnya, mama merasa malu. Tapi, setelah mengatakannya, hati mama jadi lebih tenang.” Tambah mamanya.
Santri menatap wajah mamanya yang sedang bicara. “Mama juga pernah melakukan kesalahan dan meminta maaf sama teman mama?” Tanya Santri lagi.
Mamanya mengangguk. “Iya!” ucap mamanya singkat, lalu pergi meninggalkan Santri ke dapur yang masih duduk dengan wajah bingung.
***
Siang, di taman sekolah saat jam istirahat, tidak begitu ramai. Hanya beberapa cewek yang sedang asyik mengobrol di bawah pohon yang teduh.termasuk Dina, Citra, dan Dhira. Sesekali terdengar tawa mereka.
Diam-diam Santri memerhatikan mereka dari belakang. Ada rasa iri yang menghampiri dalam hati Santri ketika melihat mereka tertawa, bercanda, dan ceria. Ingin rasanya Santri kembali bergabung bersama mereka dan kembali ngobrol, curhat, tertawa bersama. Hanya saja, ada rasa malu dan gengsi dalam hati Santri yang selalu membuat Santri mundur ketika ingin mendekati mereka untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
Namun, kali ini Santri memberanikan diri. Ia berjanji dalam hatinya untuk meminta maaf dan kembali bersama mereka. Santri pun berjalan pelan mendekati mereka dari belakang.
“Aku kangen sama Santri…” ujar Dhira tiba-tiba dengan pelan.
“Aku juga,” sambung Dina di sampingnya. “Kenapa ya, Santri begitu berat untuk mengakui kesalahannya? Apa salahnya sih, meminta maaf? Lagi pula, kita semua sudah maafin dia, kan?”
“Din, untuk mengucapkan kata maaf itu memang gampang-gampang susah. Dan nggak semua orang mampu mengucapkannya kepada orang lain,” ujar Citra.”Makanya, kita harus bersyukur karena kita mampu mengucapkan kata maaf kepada orang lain.”
Santri tak bisa menahan sedih mendengar pembicaraan mereka. ia menyadari bahwa dirinya memang paling malu dan gengsi untuk meminta maaf kepada orang lain. Tapi, kali ini Santri  harus bisa membuang rasa malu dan gengsinya jauh-jauh.
“Dina…, Citra…, Dhira…,”
Dina, Citra, dan Dhira pun kaget mendengar suara itu dan serempak menengok ke arah belakang, di mana Santri sedang berdiri sambil menahan tangis.
“Santri?!” serempak mereka menyebut nama Santri.
“Maafin aku, ya…,” ujar Siera dengan suara serak.
Dina, Citra, dan Dhira langsung memeluk Santri dengan erat. Kini keempat sahabat itu sudah kembali bersatu dan tidak ada lagi yang membuat mereka salah paham, karena semuanya sudah menyadari kesalahan masing-masing dan memahami arti pentingnya kata maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar